Uncategorized

ANALISIS KEBIJAKAN PROLIFERASI NUKLIR IRAN MASA KEPEMIMPINAN AHMADINEJAD

Andi Farkan, Yunicha Krida A., Rizky Chaesario, Egiet Hapsari, Winandriyo K.A

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

Masalah proliferasi nuklir Iran ini menarik untuk diteliti karena selama beberapa tahun belakangan menjadi perhatian dan perdebatan tersendiri dalam komunitas internasional. Isu tersebut mulai menjadi polemik ketika Negara-negara Barat yang dipelopori oleh Amerika melaporkan masalah tersebut ke DK-PBB. Sejak saat itu masalah proliferasi Iran memicu terjadinya pro kontra diantara masyarakat internasional.

Pihak Iran sendiri telah melansir masalah tersebut dengan menyatakan bahwa nuklir yang dimilikinya adalah semata-mata untuk tujuan damai yaitu untuk kesejahteraan dan kepentingan rakyatnya. Namun, pernyataan tersebut tidak membuat banyak pihak yakin terutama Amerika Serikat. Beberapa negara masih meyakini bahwa nuklir yang dikembangkan oleh Iran memiliki tujuan lain yaitu untuk menciptakan senjata pemusnah masal yang akan mengancam kestabilan dan keamanan internasional sehingga hal tersebut memunculkan polemik dan kekhawatiran tersendiri bagi mereka yang menyebabkan dilakukan berbagai upaya untuk menghentikan proliferasi nuklir iran tersebut.

Namun, Iran disini nampak tidak gentar menghadapi serangan dan tekanan masyarakat internasional yang merasa terancam dan khawatir dengan proliferasi nuklirnya. Ini disinyalir karena adanya faktor-faktor pendukung krusial yang melatarbelakngi kebijakan Iran tersebut, salah satunya adalah motif ekonomi dan kebutuhan energi Iran yang cukup besar.

Rumusan Masalah

Mengapa Ahmadinejad bersikeras untuk tetap mengembangkan poliferasi nuklirnya ditengah kecaman masyarakat internasional terutama oleh “great powers” seperti Eropa dan Amerika Serikat?

Landasan Konseptual

“Realism emphasize the constraints on politics imposed by human selfishness (‘egoism’) and the absence of international government (‘anarchy’) which require ‘the primacy in all political life of power and security (Gilpin 1986: 305).”[1]

Teori ini memandang bahwa pada dasarnya tiap-tiap individu itu ‘selfish’ dan selalu berupaya untuk mempertahankan eksistensinya dengan berbagai cara tak terkecuali pada perilaku Negara-negara di dunia. Realisme juga melihat dunia ini sebagai tempat yang anarki dimana masing-masing negara sebagai pemegang kedaulatan tertinggi memiliki kebebasan untuk mendapatkan kepentingannya sekalipun dengan cara-cara yang mengancam eksistensi dan keamanan actor lain.

Realisme juga menekankan kepada dua hal penting yang harus dikejar oleh suatu negara agar dapat ‘survive’ di lingkungan internasional yang anarki yaitu power dan state security. Power yang dapat diartikan sebagai kekuatan atau kapasitas negara, merupakan hal terpenting yang harus dimiliki untuk dapat menjamin eksistensi negara, karena dengan power inilah suatu negara dapat menciptakan kemanan Negaranya serta dapat survive (state survival is paramount).

Rationality and state-centrism are frequently identified as core realist premises (Keohane 1986: 164-5)[2]

Premis utama yang ditekankan oleh teori realisme ini adalah rasionalitas dan “state-centrism”. Rasionalitas merupakan dasar yang melandasi tindakan suatu aktor (Negara sebagai pusat) atas pertimbangan untung rugi. Dalam teori ini diterangkan tentang pentingnya cost dan benefit dari suatu kebijakan Negara, bahwasanya dalam suatu tindakan akan selalu ada cost dan benefit yang diperoleh, dan karena teori ini menekankan pada rasionalistas maka tentunya benefit yang diperoleh harus sesuai atau lebih besar daripada cost yang keluarkan.

Hipotesis

Iran berupaya untuk tetap mengembangkan nuklirnya dengan berbagai pertimbangan yang krusial, yaitu menyangkut kesejahteraan rakyatnya serta pertimbangan gain yang akan diperoleh. Iran memutuskan untuk melakukan penghematan minyak untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan menjual minyak buminya kepada Negara lain yang membutuhkan, dan sebagai gantinya, Iran menggunakan nuklir sebagai sumber pemenuhan kebutuhan energi karena cost yang dikeluarkan menjadi lebih ringan. Oleh karenanya, Iran tetap mempertahankan posisinya dengan teguh ditengah kecaman komunitas internasional atas proliferasi nuklir yang dilakukannya.

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. A.    Sejarah Perkembangan Nuklir Iran

Keterlibatan Iran dalam penelitian dan pengembangan nuklir dimulai pada pertengahan tahun 1960 pada masa pemerintahan Shah atas dukungan Amerika Serikat dalam kerangka kerja perjanjian bilateral antar dua negara tersebut. Amerika Serikat dan Iran menandatangani Nuclear Cooperation Agreement pada tahun 1957 yang mulai berlaku pada 1959.[3] Fasilitas nuklir yang pertama kali dibangun adalah Tehran Nuclear Research Center (TNCR) di tahun 1967 yang bertempat di Tehran University dan dijalankan oleh Atomic Energy Organization of Iran (AEOI).[4] Pusat pengembangan ini menjadi salah satu fasilitas nuklir utama Iran yang diketahui publik yang memiliki 5 megawatt reaktor nuklir yang disuplai oleh Amerika Serikat pada tahun 1967.  Reaktor ini mampu memproduksi hingga 600 gram plutonium pertahun.

Iran menandatangai traktat non-proliferasi pada 1 Juli 1968 (NPT). Traktat ini mulai berlaku pada 5 Maret 1970 setelah diratifikasi oleh Majelis. Dalam bahasan pada artikel IV traktat tersebut disebutkan bahwa Iran memiliki hak untuk mengembangkan penelitian; memprduksi dan menggunakan nuklir untuk tujuan damai tanpa diskriminasi; dan memperoleh peralatan, material, dan informasi serta teknologi. Dengan menandatangani NPT, Iran sekaligus membuktikan bahwa Iran tidak berencana mengembangkan nuklir untuk pembuatan senjata. Selain itu, di tahun 1974 Iran juga mengajukan draft resolusi kepada Majelis Umum PBB untuk membangun zona bebas senjata nuklir (nuclear weapon free zone) di Timur Tengah. [5]

Berdasarkan laporan CIA pada tahun 1988, Iran menghentikan program nuklirnya pada tahun 1979, namun kembali melanjutkan program ini di tahun 1982.[6] Di tahun 1985, berdasarkan laporan National Intelligence Council menyatakan bahwa Iran merupakan ancaman potensial terhasap proliferasi, menyebutkan bahwa Teheran tertarik untuk mengembangkan fasilitas yang dapat sewaktu-waktu memproduksi material yang dapat digunakan untuk persenjataan. Walaupun demikian, laporan tersebut juga menyatakan bahwa akan butuh waktu yang sangat lama sampai hal ini dapat terlaksana.[7] Di lain pihak, pemerintah Iran menyatakan bahwa program nuklir Iran ditujukan untuk menghasilkan sumber daya  listrik, yang akan menggantikan konsumsi minyak dan gas. Iran sangat menentang penggunaan nuklir yang digunakan sebagai senjata dan telah berulangkali menyatakan bahwa program pengembangan nuklir Iran hanya ditujukan untuk tujuan damai.

Kontroversi mengenai program nuklir Iran kembali mencuat sejak Agustus 2002 ketika National Council of Resistence in Iran (NCRI) mengungkapkan informasi bahwa Iran telah membangun fasilitas yang berhubungan dengan nuklir d Natanz dan Arak. Di tahun ini juga,  International Atomic Energy Agency (IAEA) mulai melakukan investigasi. Hasil dari investigasi ini, yang juga didukung informasi yang diberikan Teheran sendiri, mengungkapkan bahwa Iran telah terlibat dalam berbagai macam aktivitas yang berhubungan dengan nuklir secara terselubung, yang beberapa diantaranya telah melanggar perjanjian. Termasuk diantaranya adalah eksperimen mengenai pemisahan plutonium, pengayaan uranium dan mengimpor komponen-komponen uranium.

Iran mulai melanjutkan konversi uranium pada Agustus 2005 di bawah kepemimpinan Ahmadinejad, yang telah terpilih dua bulan sebelumnya. Iran mengumumkan pada Januari 2006 bahwa Iran akan melanjutkan penelitian dan pengembangan nuklir di Natanz. Sebagai respon terhadap isu ini, IAEA mengadopsi resolusi 4 Februari 2006 yang mencantumkan mengenai Dewan Keamanan. Namun, Ahmedinejad tidak mengindahkan peringatan ini bahkan Ahmadinejad justru sangat vokal dalam menyuarakan aspirasinya. Dan program nuklir Iran terus berlanjut sampai sekarang walaupun mendapat kecaman dari banyak pihak terutama dari kubu Amerika Serikat.

Pada 28 Agustus 2007, dalam pernyataannya, Ahmadinejad menegaskan bahwa Iran tidak akan memperlambat aktivitas nuklirnya. Pada November 2007, Ahmadinejad memberikan pernyataaan bahwa Iran telah mencapai target kunci nuklir dengan mengoperasikan 3,000 alat pengayaan uranium. Walaupun tampak sangat meyakinkan, pernyataan ini bertentangan dengan dengan laporan IAEA bahwa yang beroperasi hanya 2,000 dan sebanyak 650 lainnya dalam masa percobaan.[8]

 

  1. B.     Faktor Internal dan Eksternal Proliferasi Nuklir Iran

Iran merupakan negara dengan kebijakan yang cukup keras dan tegas, dalam pelaksanaanya kebijakan publik ini didasari atas 2 faktor penentu yakni faktor eksternal dan internal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam negeri yang mampu mempengaruhi dalam proses pembuatan kebijakan, baik itu untuk kebijakan domestic maupun kebijakan luar negeri sedangkan faktor eksternal adalah variable yang berasal dari situasi dan kondisi politik internasional yang dapat mempengaruhi dibuatnya suatu kebijakan.

Faktor Internal

Iran dikenal sebagai negara yang berpegang teguh pada ajaran agama, dan merupakan salah satu negara islam terkuat. Gerakan revolusi islam tercetus ketika pada 1979, Ayatollah khomeini menggulingkan kekuasaan Syahreza Pahlevi yang pro barat, dengan demikian sistem kerajaan Iran berganti republik. Peristiwa ini menandai bentuk pemerintahan baru, dan kemunculan Khomeini sebagai pemimpin agung di Iran. Semangat dan sentimen anti barat yang mencuat setelah gerakan revolusi Iran ini, terpelihara bahkan sangat berpengaruh hingga kini dalam kehidupan masyarakat Iran. Keberadaan Khomeini, sebagai pemimpin agung menjadikan syariah Islam sebagai dasar hukum di Iran, hal ini juga membuat posisi ulama yang sangat kuat, intervensi ulama bisa masuk ke dalam setiap kebijakan publik, baik yang bersifat sosial, politik, budaya, bahkan militer, dengan demikian peran ulama sangat kuat dan merupakan salah satu faktor terkuat dalam kebijakan politik Iran, kedudukan agung Khomeini, yang kini dilanjutkan Khameini, bahkan bisa dikatakan lebih kuat dari presiden.

Sistem pemerintahan republik Iran membuat Presiden harus dipilih dalam pemilu yang dilakukan 4 tahun sekali. Pada pemilihan umum terakhir yang dilakukan tahun 2009, calon incumbent , Mahmoud Ahmadinejad, terpilih kembali secara mutlak untuk menjadi Presiden terpilih Iran. Dalam kampanyenya, Ahmadinejad mengangkat isu-isu krusial, seperti kesenjangan, ekonomi kesejahteraan, korupsi, dan lapangan pekerjaan. Pada periode sebelumnya, dukungan yang kuat membuat pemerintahan ahmadinejad cenderung berjalan lancar, pembangunan infrastrukutr berjalan baik dan kebijakan politik nya rata-rata mendapat dukungan publik. Ahmadinejad sendiri dikenal sebagai seorang konservatif garis keras, hal ini membuat Iran menjadi keras dan kuat dalam kebijakan dalam dan luar negrinya. Pemilu 2009, sempat berhembus isu dari golongan oposisi yang dipimpin Mousavi, bahwa kemenangan Ahmadinejad diwarnai kecurangan, hal ini sendiri membuat demonstrasi massal yang terjadi Teheran. Ribuan orang yang turun ke jalan-jalan Teheran melakukan pengrusakan, hal ini mengundang tindakan represif aparat yang kemudian menewaskan beberapa orang demonstran. Sementara itu, tuduhan kecurangan yang dihembuskan Mousavi tidak pernah terbukti, demonstrasi besar pun hanya terjadi di Teheran. Mousavi sendiri pada masa kampanye tidak bisa meyakinkan masyarakat bahwa dirinya adalah seorang reformis. Walaupun demikian, hal ini menunjukan kamu konservatif di Iran dengan dukungan ulama dan pemimpin agung, memiliki oposisi dari kaum reformis yang terdiri dari kaum elit dan para akademisi. Kaum oposisi ini merupakan lawan politik utama dari kaum reformis, meskipun demikian dukungan politik terhadap kaum reformis masih lemah karena mayoritas rakyat Iran yang muslim Syiah, masih memegang teguh dan percaya pada ajaran lama, karena pengaruh ulama yang kuat dan bentu kepatuhan terhadap ajaran yang mereka yakin. Selain itu kepemimpinan Ahmadinejad yang keras dianggap mampu memberikan rasa aman bagi warga Iran. Salah satu kebijakan penting Ahmadinejad adalah tentang program pengayaan nuklir, program ini sendiri diklaim AS ditujukan untuk kepentingan pengembangan senjata pemusnah massal, namun pihak Iran menyatakan penggunaan nuklir sebagai pembangkit tenaga.

Faktor Eksternal

Amerika serikat merupakan negara yang sangat menentang kebijakan nuklir Iran, bahkan memasukan Iran ke dalam kategori Rough State. Tekanan AS terhadap kebijakan nuklir Iran, membuat sentimen anti barat semakin meluas dan keadaan masyarakat ini memperkuat kedudukan Ahmadinejad sebagai pemimpin karena kondisi dalam negeri Iran yang cenderung terintegrasi karena kesepahaman antara pemimpin dengan rakyatnya dan inilah yang kemudian mempengaruhi kebijakan publik Iran, terlepas dari keinginan pihak oposisi yang ingin mereformasi kebijakan keras dalam dan luar negeri Iran. Semenjak digulingkannya kekuasaan Pahlevi yang pro barat di tahun 1979, sentimen anti barat telah menjadi sikap yang umum dalam masyarakat dan AS sebagai negara adidaya dianggap sebagai musuh utama, selain Israel dan tentu saja Irak. AS yang memiliki beberapa pangkalan militer di semenanjung Arab, sudah cukup membuat posisi Iran terjepit ditambah lagi setelah peristiwa 9/11 ketika tentara AS memasuki Irak dan Afghanistan. Kondisi Iran yang terjepit ini kemudian mempengaruhi Iran dalam program pengembangan persenjataan militer secara swadaya, Iran sendiri berhasil mengembangkan pesawat tempur canggih Saeqeh dan rudal balistik shahab, sebagai persenjataan utama. Sementara itu, dalam keadaan demikian rakyat Iran membutuhkan rasa aman dari pemimpin yang keras seperti Ahmadinejad.

Kecaman dan sangsi internasional, seperti pemboikotan dan embargo kepada Iran, menjadikan Iran sebagai negara yang mandiri, kebijakan pengembangan senjata dan pengayaan nuklir dilakukan secara swadaya dan mereka berhasil melakukannya. Pesawat tempur canggih saeqeh dan rudal-rudal balistik yang mampu menjangkau seluruh pangkalan militer AS di timur tengah dan wilayah-wilayah penting Israel, merupakan bukti keseriusan Iran dalam menanggapi kecaman internasional dan keberadaan pihak-pihak asing yang bisa mengancam wilayah negara mereka, serta merupakan bukti kuat dukungan masyarakat Iran terhadap kebijakan Ahmadinejad. Selain AS, Israel merupakan musuh utama Iran. Selain karena sekutu utama AS di Timur Tengah, Israel juga merupakan negara agresor dan memiliki kemampuan militer yang terkuat di Timur Tengah. Hal ini menimbulkan kebencian juga ancaman bagi pihak Iran, yang juga kemudian berpengaruh pada konsentrasi membangun kekuatan militer Iran.

Faktor-faktor eksternal tersebut, membuat Iran berkonsentrasi pada pembangunan kekuatan militer demi keamanan negaranya, sikap anti asing yang sudah timbul sejak 1979 terbukti mampu membuat Iran terintegrasi, meskipun hal ini juga memunculkan kaum oposisi minoritas. Kebijakan nuklir yang dianggap ancaman, terutama bagi AS juga merupakan kebijakan yang didukung oleh masyarakat Iran pada umumnya.  Selebihnya, kepemimpinan Ahmadinejad yang keras juga merupakan jawaban atas keinginan warga Iran untuk menjaga kedaulatan negaranya dari intervensi pihak asing dan atas kepentingan menjaga nilai-nilai konservatif yang didukung para ulama. Peran ulama yang kuat atas kebijakan dalam negeri dan keberadaan Khameini sebagai pemimpin agung Iran, juga merupakan bentuk kepatuhan warga Iran terhadap ajaran Islam Syiah yang mayoritas dalam komposisi masyarakat di Iran.

  1. C.    Analisis Kebijakan Proliferasi Nuklir Iran

Politik internasional bersifat anarki artinya tiap-tiap negara bebas memperjuangkan kepentingan nasionalnya demi kelangsungan hidup negara tersebut. Oleh karena itu dalam politik internasional selalu terjadi persaingan diantara negara-negara dunia. Ancaman yang dapat mengganggu kepentingan nasional tersebut akan dihadapi dengan berbagai macam cara. Begitupun kaitannya dengan program nuklir Iran yang bersifat damai dengan tujuan untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Program nuklir Iran tidak lepas dari berbagai tekanan dan embargo dari pihak lain—negara-negara Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Walaupun mendapatkan tekanan dan embargo secara terus menerus, Iran tidak akan menghentikan program nuklirnya karena setiap negara berhak untuk mengembangkan teknologi nuklir yang bersifat damai. Kegigihan Iran dalam memperjuangkan program nuklirnya tidak bisa lepas dari tujuan jangka panjang terkait state survival dan juga state security negara tersebut.

Pengembangan Nuklir Strategis oleh Iran

Proyek nuklir yang dikembangkan di Iran bersifat damai dan dimaksudkan untuk mempermudah Iran dalam mencapai kepentingan nasionalnya ditengah persaingannya dengan negara-negara dunia lainnya. Persaingan dengan negara-negara lain tentu membutuhkan adanya suplai dan jaminan energi yang baik dan lancar. Proyek nuklir Iran salah satunya dimaksudkan untuk menciptakan suatu ketahanan energi di negara tersebut. Ketahanan energi yang dimaksud adalah kemampuan Iran untuk menyediakan suatu alternatif energi selain minyak bumi dan gas alam dan juga untuk memberikan jaminan atas suplai energi terkait meningkatnya konsumsi energi listrik. Peningkatan konsumsi energi didorong oleh pertumbuhan penduduk yang cukup cepat dan juga guna mendorong sektor industri di Iran.

Iran memiliki kandungan minyak bumi dan gas alam yang sangat besar. Hal ini membuat Iran menempati posisi sebagai negara yang memiliki cadangan minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi dan juga posisi terbesar kedua setelah Russia menyangkut cadangan gas alamnya[9]. Walaupun begitu, perlu disadari bahwa minyak bumi dan gas alam sifatnya tidak dapat diperbaharui dan suatu saat akan habis sehingga membuat Iran tidak dapat sepenuhnya menyandarkan kebutuhan energinya pada kedua sumber daya alam tersebut. Perlu diketahui bahwa pertumbuhan konsumsi listrik tahunan Iran mengalami peningkatan antara 6-9 persen dengan populasi penduduk hingga 100 juta jiwa pada tahun 2025. Selain itu, ketahanan energi Iran terancam akibat kemampuan produksi Iran yang menurun, dimana masa pra-revolusi 5,5 juta bpd dibandingkan pasca-revolusi yang hanya sekitar 3,5 juta bpd dan ditambah dengan biaya tambahan untuk perbaikan dan perawatan kilang minyak Iran yang masih berbahan bakar minyak[10]. Beberapa kondisi tersebut menuntut perlunya pengembangan teknologi nuklir sehingga mampu memasok kebutuhan energi listrik dan melakukan antisipasi kebutuhan energi dimasa mendatang. Maka, pasokan energi yang baik dan lancar dapat menjaga jarak persaingan dengan negara lain.

Persaingan dalam dunia internasional tidak hanya sebatas persaingan kekuatan militer seperti masa World War I dan II serta Cold War, namun saat ini memasuki babak baru persaingan ekonomi antar negara. Program nuklir mampu memberikan suplai energi listrik baru yang lebih terjamin dan lebih murah daripada dengan cara konvensional. Proyek nuklir Iran memberikan suatu keuntungan ekonomis dengan biaya yang murah daripada cara produksi energi konvensional. Sebagai contoh, menurut laporan Manfred Thuman—seorang pakar energi nuklir dari Nordostschweizerische Krafftwerke AG (NOK) , Swiss dalam “Internasional Journal for Nuclear Power, Vol: 51“—besarnya biaya konsumsi listrik yang dikeluarkan pada tingkat operasi 8.500 jam setahun untuk setiap satuan MWh (mega watt per hour) menurut Thuman hanya 22,31 Euro dengan menggunakan pembangkit nuklir. Dibandingkan biaya yang dikeluarkan oleh pembangkit lainnya untuk kebutuhan yang sama sebesar: batu bara 24,43 Euro/MWh, gas alam 26,33 Euro/MWh dan bio massa 31,27 Euro/MWh. Dengan begitu Iran dapat menghemat anggarannya hingga mencapai triliunan rupiah. Selain  itu, pemanfaatan teknologi nuklir dapat mengurangi konsumsi domestik minyak bumi dan gas alam sehingga pada gilirannya, sebagian SDA yang ada dapat dialokasikan untuk di ekspor ke negara lain dikawasan Eropa maupun Asia karena Iran berada diantara kedua kawasan tersebut. Hal ini merupakan modal besar yang dapat digunakan untuk mengembangkan dan memajukan berbagai sektor lainnya di Iran. Dengan begitu, Iran pasti akan berupaya keras untuk menjaga momentum pengembangan nuklirnya bila melihat hasil dari nuklir bagi kemajuan Iran.

Kebutuhan energi dan penghematan pengeluaran negara tergolong ke dalam state survival bagi Iran dan merupakan agenda jangka panjang Iran. Oleh karena itu kebutuhan nasional tersebut mutlak diperjuangkan salah satunya dengan pemanfaatan teknologi nuklir. Sebagai suatu negara maka Iran bebas untuk ikut menggunakan nuklir sebagai sarana untuk memperoleh kebutuhannya. Disamping itu, pengembangan teknologi nuklir sangat strategis bagi Iran. Segala hal yang berhubungan dengan state survival Iran maka akan terus dipertahankan walaupun ditengah badai embargo dan tekanan untuk menghentikannya.

Jaminan Keamanan dari Proyek Nuklir

Selain pemenuhan kebutuhan nasional yang didapat dari teknologi nuklir, Iran sedang mempertahankan salah satu “senjata”-nya. Pemilikan nuklir dipandang dapat memperkuat posisi tawar negara yang memilikinya. Suara dari negara-negara nuklir akan didengar oleh negara-negara lain dikarenakan anggapan nuklir identik dengan senjata pemusnah massal. Padahal belum tentu memiliki senjata nuklir. Iran melihat adanya keuntungan dari nuklir yang dimilikinya terhadap posisi tawarnya di dalam politik internasional sehingga akan diperhitungkan oleh negara lain dan dapat menebarkan pengaruhnya—terutama di kawasan Timur Tengah terkait persaingannya dengan Israel. Sehingga ketika terdengar suara-suara yang menginginkan Iran menghentikan program nuklirnya, maka serta merta Iran menolak karena dengan nuklir aspirasi Iran dapat didengar oleh negara-negara lainnya.

Keamanan wilayah Iran sendiri hingga saat ini masih relatif aman dari ancaman serangan negara-negara lain. Hal ini bukan semata-mata karena persenjataan Iran yang tangguh dan milisi Basij-nya yang terlatih, namun juga dikarenakan efek dari kepemilikan Iran atas teknologi nuklirnya. Kemampuan Iran dalam menguasai teknologi nuklir membuat negara-negara lain tidak dengan mudah menyerang Iran dan perlu berpikir berkali-kali sebelum berniat melancarkan serangan terhadap Iran, seperti ketika Invasi Amerika terhadap Irak. Walaupun pada dasarnya hubungan Iran mengalami ketegangan dengan beberapa negara didunia pasca-revolusi Islam, terlebih lagi dalam hubungannya dengan Israel yang selalu panas dan berpotensi berperang, namun hingga kini tidak terjadi perang diantara kedua negara. Malah, kini giliran Israel yang merasa terancam dengan Iran yang sudah memiliki kapasitas dan kemampuan pemanfaatan teknologi nuklir. Nuklir dipandang pemimpin Iran, Mahmoud Ahmadinejad sebagai suatu asset berharga yang mampu digunakan untuk menekan negara lain, walaupun tidak diproduksi menjadi senjata nuklir.

Nuklir memainkan peran yang teramat penting bagi Iran. Posisi yang penting ini nampak pada kemampuan teknologi nuklir dalam mendorong Iran untuk mampu memenuhi kebutuhan nasionalnya (state survival). Kemudian, keuntungan yang didapat dari penguasaan atas teknologi nuklir meluas hingga segi keamanan Iran. Iran menjadi lebih aman dari ancaman negara lain berkat kemampuan Iran mengembangkan teknologi nuklir. Terlebih lagi perkembangan yang telah berhasil, dicapai ditengah kondisi Iran yang dalam embargo dan tekanan serta isolasi dari luar dimana seharusnya sulit untuk mengembangkan teknologi seperti nuklir. Namun, Iran telah membuktikan diri mampu dengan memanfaatkan SDM Iran sendiri.

Persaingan tetaplah persaingan dan pasti terdapat negara lain yang terancam dengan kapasitas dan kekuatan Iran saat ini. Tekanan demi tekanan untuk menghentikan program nuklir terus berdatangan, terutama dari negara-negara sekutu Amerika Serikat. Hal ini wajar dilakukan oleh negara berdaulat dalam konteks politik internasional yang anarki. Begitu pun Iran, keberhasilan program nuklir Iran saat ini merupakan bentuk tekanan terhadap dominasi negara-negara Barat dan pembuktian diri Iran dalam kancah internasional untuk menjadi aktor internasional yang patut untuk diperhitungkan. Walaupun begitu, ancaman akan selalu ada terhadap kepentingan nuklir Iran, baik melalui tekanan dan embargo (soft approach) maupun invasi (hard approach) dan Iran akan selalu menjaga dan memperjuangkan agar program nuklir Iran terus berjalan karena program nuklir berkaitan dengan kelangsungan negara dan masa depan Iran.

  1. D.    Implikasi Pengembangan Nuklir Iran terhadap Situasi Politik Internasional

Sikap Ahmadinedjad yang tetap mempertahankan proyek pengembangan nuklir Iran memunculkan kekhawatiran, baik di negara-negara Arab tetangganya maupun negara-negara Barat. Tentu saja negara-negara Arab mencemaskan keamanan negara dan kawasan, karena letaknya yang secara geografis dekat dengan Iran, terlebih lagi suasana politik di Timur Tengah yang sarat konflik. Sedangkan di dalam negara-negara Barat, tertanam rasa curiga terhadap Iran bahwa Iran mengembangkan nuklir sekaligus mengembangkan senjata pemusnah masal.

Berbagai cara telah dilakukan pemerintah Iran untuk meyakinkan dunia bahwa pengembangan nuklir di Iran dilakukan dengan tujuan damai. Di antaranya adalah dengan menandatangani Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) sepuluh tahun lalu dan berbagai perjanjian nuklir lainnya termasuk Konvensi Larangan Ujicoba Senjata Nuklir (CTBT), Konvensi Larangan Perluasan Senjata Biologi (CWC), dan lain-lain. Selain itu Iran telah menjalinkerjasama dengan IAEA  dengan membuka pintu bagi dilakukannya inspeksi oleh IAEA lebih dari 1600  orang per hari. Namun upaya ini belum cukup membuat negara-negara Barat percaya.  Amerika Serikat dan sekutunya terus berupaya menghentikan pengembangan proyek tenaga nuklir tersebut. Dengan demikian, fenomena ini menimbulkan gejala aliansi.

Negara barat, terutama Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya hingga saat ini masih berupaya mencegah pengembangan nuklir Iran. Tanpa mempedulikan pedoman NPT dan IAEA, AS  bersama sekutunya bertindak arogan seperti contohnya dengan memberikan paket-paket sanksi terhadap Iran dan mengucilkan Iran dari dunia internasional. Sanksi dilakukan melalui berbagai macam embargo teknologi termasuk produk-produk yang memiliki fungasi ganda, juga embargo ekonomi, investasi dan layanan jasa dan sebagainya. Amerika Serikat juga melakukan serangan militer dan menyerahkan dokumen nuklir Iran kepada Dewan Keamanan PBB. Secara keseluruhan, Barat menerapkan standar ganda dalam kasus nuklir Iran.

Sejak Iran mengumumkan keberhasilannya menguasai teknologi nuklir, kebijakan Barat dalam mencegah dan mengagalkan proyek nuklir Iran memasuki tahap baru. Untuk ini, barat telah mempersiapkan tiga tahap, yaitu, penangguhan, penghentian dan pemusnahan. Dalam melaksanakan rencana ini AS masuk ke medan dengan memerankan polisi jahat sementra Eropa masuk dengan perannya sebagai pihak yang ingin menyelesaikan masalah dengan cara yang terbaik. Dengan cara ini Barat membuka front melawan proyek nuklir Iran. AS menjasikan pelimpahan isu nuklir Iran ke meja Dewan Keamanan PBB sebagai langkah akhir, sementara Eropa memilih cara untuk bermain tahap demi tahap.[11]

Namun banyak pula negara yang berpendapat bahwa pemberian sanksi AS dan negara sekutunya terhadap Iran tidak akan menyelesaikan masalah, karena hanya akan memberi kan dampak pada warga negara biasa.

Rusia, anggota tetap DK PBB, sejak lama menentang sanksi-sanksi terhadap Iran dan mengatakan, masalah nuklir Teheran harus diselesaikan lewat jalur diplomatik. Walau demikian, Moskwa akhirnya menyetujui sanksi-sanksi itu setelah melihat indikasi Iran gagal membuktikan sifat damai kegiatan nuklirnya (Kompas Minggu 25 Juli 2010 Iran, Brasil, dan Turki Bahas Nuklir Iran) . Sedangkan China menempuh jalan untuk menyelesaikan masalah nuklir Iran melalui dialog, perundingan, dan usaha-usaha diplomatik lainnya untuk mencari solusi yang memuaskan semua pihak, sebagaimana yang dinyatakan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qin Gang dalam pernyataan yang disiarkan kantor berita Xinhua. Pernyataan senada juga dikemukakan oleh India.

BAB III

KESIMPULAN

 

Iran sebagai salah satu Negara independen dalam hubungan internasional, tidak dapat melepaskan diri dari nature relasi antar actor dalam struktur internasional yang anarkis dan berdasar pada self help. Sebagai unit Negara independen, Iran dituntut untuk mampu memenuhi survivalitasnya sendiri dan memenuhi rasa amannya berdasarkan kapabilitas yang ia miliki. Kekuatan nasional yang dimiliki Iran menjadi premis bagi terpenuhinya rasa aman Iran dalam hubungan internasional, termasuk dalam bidang pemenuhan energi. Sumber daya minyak Iran yang melimpah-terbanyak kedua di dunia-dapat menjadi modal bagi terjaminnya kekuatan nasional Iran. Dalam hal ini, usaha proliferasi nuklir Iran dapat dimaknai sebagai upaya strategis Iran untuk memenuhi kebutuhan energy dalam negeri yang terus meningkat, sementara disisi lain secara simultan memberdayakan sumber daya minyak-yang harganya makin meningkat dari tahun ke tahun-sebagai upaya memperkuat kekuatan nasional, terutama dalam bidang energy dan ekonomi.

Sehingga berdasarkan pembahasan diatas dapat dilihat bahwasanya nuklir bagi Iran merupakan hal yang sangat urgent dan krusial. Ini dapat dilihat dari kebutuhan energy Iran yang terus meningkat sehingga tidak dapat terus bergantung terhadap minyak maupun gas alam yang dimilikinya karena keduanya merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Oleh sebab itu, untuk terus menunjuang kebutuhan energy dalam negerinya, Iran melakukan proliferasi nuklir sebagai jalan alternative.

Dengan melihat kebutuhan dan kepentingan dalam negeri Iran soal energy tersebut maka hal tersebut menjadi masuk akal ketika Iran tetap mempertahankan proliferasinya ditengah kecaman dunia internasional terutama oleh Amerika Serikat. Karena pada dasarnya tiap-tiap actor (Negara) akan melandaskan keputusan dan kebijakannya pada national interest yang termasuk didalamnya state survival dan state security.

Sumber

Sahidi, Hossein. 2008. Iran The 21,st century: politics, economics and conflict, homa katouzian. Routledge: Oxon

Jerman Prihatin soal Nuklir Iran,  Kompas 20 Februari 2010

Resistensi Nuklir Sketsa Perjuangan Bangsa Iran Menggapai Kemajuan, http://www2.irib.ir/worldservice/melayuRADIO/nuklir/resistensi.htm, diakses pada tanggal 28 November 2010.

William Burr, “A Brief History of U.S.-Iranian Nuclear Negotiations,” Bulletin of the Atomic Scientists, January/February 2009. Dalam Paul K Kerr. Iran’s Nuclear Program: Status. Diunduh dari  <http://www.fas.org/sgp/crs/nuke/RL34544.pdf>

Sahimi, Mohammad. Iran’s Nuclear Program Part I: It’s History.

Paul K Kerr. Iran’s Nuclear Program: Status. Diunduh dari  <http://www.fas.org/sgp/crs/nuke/RL34544.pdf>  .

Middle East-South Asia: Nuclear Handbook, Central Intelligence Agency, May 1988. Dalam Paul K Kerr. Iran’s Nuclear Program: Status. Diunduh dari  <http://www.fas.org/sgp/crs/nuke/RL34544.pdf>

Paul K Kerr. Iran’s Nuclear Program: Status. Diunduh dari  <http://www.fas.org/sgp/crs/nuke/RL34544.pdf>  pada 29 November 2010. Halaman 4.


[1] Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations. New York: McMilan page 30

[2] Ibid page 31

[3] William Burr, “A Brief History of U.S.-Iranian Nuclear Negotiations,” Bulletin of the Atomic Scientists, January/February 2009. Dalam Paul K Kerr. Iran’s Nuclear Program: Status. Diunduh dari  <http://www.fas.org/sgp/crs/nuke/RL34544.pdf>  pada 29 November 2010.

[4] Sahimi, Mohammad. Iran’s Nuclear Program Part I: It’s History.

[5] Paul K Kerr. Iran’s Nuclear Program: Status. Diunduh dari  <http://www.fas.org/sgp/crs/nuke/RL34544.pdf>  pada 29 November 2010.

[6] Middle East-South Asia: Nuclear Handbook, Central Intelligence Agency, May 1988. Dalam Paul K Kerr. Iran’s Nuclear Program: Status. Diunduh dari  <http://www.fas.org/sgp/crs/nuke/RL34544.pdf>  pada 29 November 2010.

[7]Paul K Kerr. Iran’s Nuclear Program: Status. Diunduh dari  <http://www.fas.org/sgp/crs/nuke/RL34544.pdf>  pada 29 November 2010. Halaman 4.

[8] Hassan, Hussein D. Iran: Profile of Presiden Mahmoud Ahmadinejad.

[10] Ibid.

[11] Resistensi Nuklir Sketsa Perjuangan Bangsa Iran Menggapai Kemajuan, http://www2.irib.ir/worldservice/melayuRADIO/nuklir/resistensi.htm, diakses pada tanggal 28 November 2010.

Leave a comment