MESIKlopedia

Arab Spring: Fenomena Sosial – Ekonomi

ARAB SPRING: FENOMENA SOSIAL-EKONOMI

Oleh: Luthfi Purnahasna

 

Revolusi yang terjadi di wilayah Timur Tengah dengan dimulai pada tahun 2010 di Negara Tunisia lebih dikenal sebagai pergolakan politik dan konflik kemanusiaan.Bagaimana jika Arab Spring ini dilihat dalam sudut pandang lain? Bagaimana Arab Spring ini saat dilihat dari perspektif social-ekonominya?Maka asumsi pertama yang dapatdikatakan adalah bahwa faktor social-ekonomi justru menyebabkan dan memanaskan gejolak Arab Spring.

Middle East Institute (MEI) dari National University of Singapore (NUS) menyebutkan setidaknya ada dua permasalahan besar di Timur Tengah:

1.      Adanya masalah yang saling berkaitan antara perubahan struktur demografi dan ekonomi; saat struktur demografi mengalami perubahan tetapi struktur ekonomi masih saja rigid sehingga berjalan tidak seimbang.

2.      Ketahanan sistem pembangunan yang amat dipengaruhi pada sistem negara “Leviathan”, korupsi dan bantuan (luar negeri).[1]

Penulis sendiri menganggap dua hal yang disebutkan diatas merupakan penyebab dari terjadinya Arab Spring itu sendiri.

Dari negara-negara yang mengalami Arab Spring terdapat sebuah benang merah, sebuah persamaan, sebuah kesamaan yang terjadi di negara-negara yang mengalami Arab Spring. Hal yang menjadi persamaan adalah fenomena meningkatnya pengangguran—terutama dikalangan pemuda—, lalu tingkat kemiskinan di daerah pinggiran yang cukup tinggi karena ketidakimbangan serta kesenjangan pertumbuhan ekonomi dan mulai menurunnya faktor ekonomi (GDP, perdagangan, pemasukan, dan lain sebagainya).Seperti yang dimuat oleh Channelnewsasia.com bahwa salah satu pemicu revolusi adalah tingginya tingkat pengangguran, terutama di kalangan pemuda.[2]Lapangan kerja yang tersedia juga relatif sedikit.

Hal diatas juga semakin didukung oleh Toby Dodge dalam tulisannya,“Conclusion: the Middle East After the Arab Spring”.[3]Sebelum terjadinya revolusi, pemerintahan yang diktaktor mengambil alih faktor produksi.Hal tersebut memang berhasil meningkatkan tingkat foreign direct investment(FDI) dan meningkatnya jumlah perusahaan multinasional pada tingkat makro.Hanya saja, hasil dari hal itu hanya dinikmati oleh kaum elit saja. Di lain sisi, terutama, di daerah pinggiran banyak yang tidak merasakan hasil dari pertumbuhan tersebut. Kemiskinan yang meningkat dan puncaknya dengan meningkatnya jumlah pemuda yang menganggur.Tetapi untuk mendirikan usaha sendiri (wirausaha) juga sulit.Pendirian usaha wiraswasta membutuhkan koneksi dari elit atau pemerintah.Kegiatan wirausaha sendiri juga seperti sangat dibatasi pemerintah.Apalagi pertumbuhan pasar juga tidak seimbang.

Selain itu, revolusi yang terjadi juga sebenarnya semakin memperburuk keadaan perekonomian tiap Negara.Dalam data yang diperoleh menunjukkan bahwa selama terjadinya Arab Spring, tidak ada perekonomian negara yang sedang mengalami revolusi menunjukkan tanda positif.Semua menunjukkan rapor merah.Keadaan konflik sendiri merupakan mimpi buruk bagi iklim perekonomian.

Selanjutnya, apa yang dapat dilihat adalah contoh keadaan yang terjadi pada beberapa negara. Pertama kita mulai dengan Tunisia. Sebelum pecahnya “Jasmine Revolution”, pada 2010, data World Bank menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Tunisia mencapai 13%.[4]Lalu saat berlangsungnya revolusi keadaan ekonomi memburuk.Data dari World Bank menunjukkan pengangguran naik menjadi 19%.[5] Keadaan juga diperparah dengan merosotnya neraca perdagangan, sektor pariwisata dan FDI yang mengakibatkan turunnya GDP hingga defisit 7,3%. Lalu dalam satu bulan awal terjadinya revolusi, negara ini sudah kehilangan pemasukan senilai 2 miliar Dollar Amerika Serikat.Tetapi pasca revolusi, Tunisia memiliki hal positif yaitu menjadi negara yang secara institusi dianggap paling siap untuk memperbaiki kondisi ekonominya.[6]

Selanjutnya adalah Mesir. Data dari World Bank menunjukkan bahwa Selama Mubarak berkuasa memang terjadi pertumbuhan ekonomi, tingkat FDI juga naik, dan GDP pun demikian.[7] Tetapi, seperti yang dikatakan Toby Dodge sebelumnya, pertumbuhan tersebut tidak dirasakan oleh keseluruhan rakyat sehingga masih menunjukkan kesenjangan.Sebelum terjadinya revolusi, World Bank menunjukkan adanya peningkatan pengangguran. Pada periode 2008-2009 tercatat 21,6% yang lalu meningkat menjadi 25,2% pada periode 2009-2010 dan kecenderungannya pada saat itu menunjukkan peningkatan pada periode setelahnya.Kesenjangan dan kemiskinan juga semakin memperparah keadaan sebelum revolusi.Sebagai tambahan, mulai tahun 2008, Mesir sebenarnya sudah mengalami economic slowdown.

Negara lain yang cukup menarik perhatian dalam proses Arab Spring adalah Libya. Ketimpangan sosial yang cukup besar antara elit dengan rakyat menunjukkan bahwa negara yang kaya minyak ini tidak berhasil membangun pertumbuhan yang merata bagi rakyatnya. Hal ini berimbas pada keinginan memberontak yang semakin berkobar dengan melihat pada revolusi yang terjadi di negara lain. Pada saat terjadinya konflik, Juli 2011, produksi minyak mencapai titik terendah di angka 22.000 barel per hari dari awalnya 1,49 juta barel per hari. Imbasnya pada waktu yang sama, GDP menurun hingga 60% dari periode sebelumnya. Rata-rata produksi minya hingga akhir 2011 hanya menyentuh angka 500 ribu barel per hari.Hal itu diperparah dengan menurunnya penghasilan non-minyak hingga 50% karena banyaknya gangguan di kegiatan ekonomi sebagai imbas adanya revolusi.[8]

Lalu Suriah yang hingga sekarang masih dalam kondisi konflik.Sebelum terjadinya konflik kondisi perekonomian ini dapat dikatakan pertumbuhannya di tingkat makro.Walaupun juga terkena imbas dari adanya resesi ekonomi global, kondisinya masih terbilang bagus dengan pertumbuhan yang cukup stabil.Tetapi seperti yang terjadi di Mesir, situasi tersebut tidak menutupi fakta bahwa pemerintah tidak bsia secara signifikan mengurangi pengangguran dan tingkat kemiskinan.[9]Dan lagi-lagi keadaan diperparah dengan terjadinya revolusi yang memicu konflik berkepanjangan.Pemasukan dari penjualan minyak berkurang terutama semenjak Uni-Eropa menerapkan larangan impor minyak dari Suriah sejak terjadinya konflik.Padahal minyak menyumbang 26% dari GDP Suriah.Lalu pada 2011, pemerintah mengeluarkan anggaran tambahan untuk tunjangan pegawai dan warga miskin demi menarik simpati masyarakat dari pihak oposisi. Tetapi hal itu menjadi blunder bagi pemerintah karena menyulut krisis fiskal dengan menyedot 30% dari anggaran 2012. Puncaknya, pada Mei 2012, harga bahan bakar minyak dan listrik untuk industri maupun rumah tangga dinaikkan demi menekan anggaran pemerintah yang membengkak.Hasilnya inflasi yang mencapai 32% dan mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat.[10]

Ini tidak hanya terjadi di empat negara yang telah disebutkan.Di Aljazair misalnya, pengangguran pada 2011 mencapai 10% dan 21% diantaranya adalah pemuda dan ditambah dengan tingkat defisit fiskal hingga 4%.[11]Di Maroko tingkat kemiskinan mencapai 8 juta orang, artinya seperempat dari jumlah penduduk Maroko.Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi negara tersebut cenderung belum menyentuh daerah pinggiran.[12]Ada juga negara yang mendapatkan imbas dari revolusi yang terjadi di negara lain, yaitu Yordania. Suplai bahan bakar ke Negara tersebut sangat tergantung pada Mesir yang disaat bersamaan sedang konflik sehingga suplai mengalami gangguan.Tingkat imporpun menjadi naik dan pengeluaran pemerintah membengkak yang dibarengi dengan menurunnya pemasukan, FDI dan remiten terutama pada 2011.[13] Tiga negara tersebut hanya contoh lain di samping empat negara yang sudah dijelaskan lebih rinci sebelumnya. Tetapi yang menjadi poin penting adalah tetap adanya benang merah yang sebelumnya disebutkan diantara negara-negara Timur-Tengah.

Reuters menuliskan tentang kondisi umum yang terjadi di beberapa negara pasca Arab Spring. Secara umum laju pertumbuhan masih lambat sehingga tahun 2013 masih belum bisa diharapkan untuk pulih.Tingkat inflasi juga masih cukup tinggi.Pengangguran masih cukup banyak.Tingkat ekspor masih cukup rendah karena tingkat permintaan yang belum kembali normal.Kebanyakan negara juga masih mengalami defisit GDP.Salah satu solusi yang dimunculkan adalah depresiasi, untuk menstimulasi ekspor.Tetapi negara seperti Mesir, Tunisia dan Yaman diyakini bisa tumbuh sedikit lebih cepat.Pengecualian juga terjadi di Libya karena kekayaan minyaknya.Pasca lengsernya Moammar Khadaffi, hasil produksi minyak meningkat tajam bahkan hasilnya mencapai 122% dari GDP-nya.[14]Solusi lain yang bisa diambil adalah pengembangan wirausaha. Pasca revolusi, sebagian negara menjadi lebih bebas untuk mengembangkan usaha melalui wirausaha dan mempunyai prospek perkembangan yang cukup baik.[15]Solusi ini menjadi cukup baik mengingat secara makro ekonomi yang masih berjalan lamban.Selain itu, wirausaha juga bisa membuka lapangan kerja baru dan menyerap tenaga kerja baru sehingga bisa mengurangi pengangguran.

Pada akhirnya Arab Springdapat sebagai sebuah fenomena sosial ekonomi.Bukan lagi fenomena konflik bersenjata atau revolusi politik.Permasalahan demografi dan ekonomi yang mencuat sebelum terjadinya Arab Spring ada baiknya dijadikan catatan penting bagi para pemimpin baru di negara-negara tersebut.Mereka tentunya tidak ingin kejadian yang menguras sumber daya materiil dan non-materiil itu terulang di negaranya.Bagi negara yang telah mengalami pergantian pemerintahan tentunya memiliki modal lebih untuk bisa membangun kembali perekonomiannya dan tentunya lebih siap. Karena pada akhirnya perkembangan ekonomi akan sangat bergantung pada kebijakan politik.

April 2013


[1]A. Malik dan Bassem Awadallah, ‘The Economics of the Arab Spring’, Middle East Institute (daring), <http://www.mei.nus.edu.sg/publications/mei-insights/the-economics-of-the-arab-spring>, diakses 18 Maret 2013.

[2]Channelnewsasia.com, Arab Sprinf Fuels Entrepreneurship in Middle East (daring), 20 February 2013, <http://www.channelnewsasia.com/stories/afp_world/view/1255324/1/.html>, diakses pada 18 Maret 2013.

[3]T. Dodge, ‘Conclusion: the Middle East After the Arab Spring’, LSE Research Online, <http://eprints.lse.ac.uk/43469/1/After%20the%20Arab%20Spring_conclusion(lsero).pdf>, diakses pada 18 Maret 2013.

[4]World Bank, Tunisia – Overview (daring), <http://www.worldbank.org/en/country/tunisia/overview>, diakses pada 18 Maret 2013.

[5]Ibid

[6]Channelnewsasia.com, Arab Sprinf Fuels Entrepreneurship in Middle East (daring), 20 February 2013, <http://www.channelnewsasia.com/stories/afp_world/view/1255324/1/.html>, diakses pada 18 Maret 2013.

[7]World Bank, Egypt—Overview (daring), <http://www.worldbank.org/en/country/egypt/overview>, diakses pada 18 Maret 2013.

[8]World Bank, Tunisia – Overview (daring), <http://www.worldbank.org/en/country/libya/overview>, diakses pada 18 Maret 2013.

[9]World Bank, Tunisia – Overview (daring), <http://www.worldbank.org/en/country/syiria/overview>, diakses pada 18 Maret 2013.

[10]Ibid

[11]World Bank, Tunisia – Overview (daring), <http://www.worldbank.org/en/country/algeria/overview>, diakses pada 18 Maret 2013.

[12]World Bank, Tunisia – Overview (daring), <http://www.worldbank.org/en/country/morocco/overview>, diakses pada 18 Maret 2013.

[13][13]World Bank, Tunisia – Overview (daring), <http://www.worldbank.org/en/country/jordan/overview>, diakses pada 18 Maret 2013.

[14]A. Torchia, ‘Arab Spring Economiesto Recover Slowly in 2013: IMF’, Reuters (daring), 11 November 2012, <http://www.reuters.com/article/2012/11/11/us-mideast-imf-economies-idUSBRE8AA01S20121111>, diakses pada 18 Maret 2013.

[15]Channelnewsasia.com, Arab Sprinf Fuels Entrepreneurship in Middle East (daring), 20 February 2013, <http://www.channelnewsasia.com/stories/afp_world/view/1255324/1/.html>, diakses pada 18 Maret 2013.

Leave a comment