Aktivitas MESI

Diskusi MESI: Konflik Sektarian di Mesir

Dalam Arab-Spring yang terjadi di Mesir, rezim Hosni Mubarak diturunkan dengan gelombang protes besar-besaran yang terpusar di Tahrir Square. Rezim ini tumbang setelah 4 dekade berkuasa. Pemerintahan sementara telah dibentuk, pemilu telah dilakukan, pemerintahan sementara digantikan pemerintahan hasil pemilu. Namun, proses demokrasi, proses damai pasca gelombang protes belum terasa. Konflik-konflik bermunculan di beberapa tempat dan di beberapa waktu. Terpusat di kota-kota besar seperti Kairo dan Aleksandria, protes-protes dilakukan baik untuk mendukung pemerintahan maupun untuk menentang pemerintahan. Beberapa kali protes berubah menjadi konflik di antara pendemo.

Dalam pihak-pihak yang berkonflik ini, terdapat latar belakang yang berbeda-beda di tiap pihak. Hal ini, perbedaan latar belakang ini “menambah bumbu” pada konflik ini. Dahulu hanya soal perbedaan pendapat tentang suatu keputusan, lama-lama merembet pada hal yang semakin luas pada hal-hal lain, termasuk cara menjalani hidup.

Lalu, ada beberapa pertanyaan yang dapat kita ajukan di sini:

  1. Mengapa konflik ini bisa terjadi? Apakah terdapat korelasi antara konflik sektarian di Mesir dengan konflik sektarian di beberapa negara Timur Tengah lain, terutama kaitannya dengan konflik Sunni-Syiah yang terjadi di beberapa negara (seperti misalnya Tunisia, Libya dan Iran) pasca revolusi?
  2. Jika terdapat korelasi di antaranya, bagaimana efek yang terjadi?

Konflik sektarian di Mesir ini, terjadi antara orang-orang Muslim dan Kristen Koptik bisa jadi merupakan konflik yang pertama. Sejak ribuan tahun yang lalu, keduanya hidup rukun dan berdampingan di Mesir tanpa adanya konflik yang berarti di antara keduanya. Antara Muslim dan umat Kristen Koptik terdapat toleransi yang cukup tinggi, bahkan keduanya saling mengakui dan mendukung karena menganggap bahwa keduanya berasal dari akar yang sama. Kristen Koptik sebagai agama dari bangsa asli Mesir (bangsa Hippo) pun dapat hidup berdampingan dengan Islam yang kemudian menjadi agama mayoritas di sana.

Pada saat revolusi Mesir terjadi, keduanya bahkan banyak menunjukkan sikap toleransi dan kedekatan yang erat. Sebagai contoh saat shalat Jumat maupun shalat lima waktu sedang dijalankan oleh umat muslim di lapangan Tahrir, umat Kristen Koptik membentuk barikade melingkar untuk melindungi jamaah sholat. Hal ini tentu menjadi bukti betapa hangat, bahkan bisa dibilang mesra, hubungan di antara keduanya.

Ketika mulai terjadi penyerangan ke beberapa gereja dan masjid sebagai penanda mulainya konflik ini, banyak pihak terkejut karena keadaan ini bisa dibilang sangat anomali. Fakta yang menunjukkan bahwa keduanya sangat akrab dan dapat hidup berdampingan bersama selama sekian lama tentunya bertolak belakang dengan konflik ini. Hal ini tentunya mengundang pertanyaan, terutama mengenai mengapa konflik ini bisa terjadi.

Dalam diskusi, terkait pertanyaan pertama, ada beberapa jawaban yang muncul. Pertama, hal ini disebabkan oleh pemerintahan yang tidak cukup memiliki legitimasi. Akibatnya, pemerintahan yang seperti ini dapat menjadi pemerintahan yang gagal mengendalikan dan mengelola konflik di level bawah. Pemerintahan yang sekarang, rezim Mursi, ini tidak mendapatkan legitimasi yang cukup sehingga tidak mampu “menenangkan” berbagai pusaran konflik yang terjadi di Mesir. Kedua, konflik ini merupakan side effect dari demokrasi masih belum menemukan bentuknya yang terjadi di Mesir. Proses demokrasi yang sempat hilang di bawah rezim Hosni Mubarak yang dianggap diktator, memerlukan pemahaman dari berbagai pihak dan keterlibatan mereka untuk membentuk sistem baru yang lebih baik, sistem demokrasi yang lebih menunjang pemerintahan dan pengembangan negara menjadi lebih baik.

Konflik sektarian ini bisa juga merupakan bentuk pengalihan isu oleh pihak-pihak tertentu karena konflik terjadi pada saat yang bersamaan dengan pembicaraan antara pemerintah dan oposisi -khususnya NSF- sedang terjadi. Sehingga, atensi publik yang diperkirakan dapat merusak proses pembicaraan ini dapat teralihkan. Selain itu, ini dapat dijadikan alat untuk face-saving di hadapan pendukung masing-masing. Bahwa di depan publik mereka masih memakai “topeng konflik”, namun di belakang mereka sudah tenang-tenang saja.

Keempat, masalah ekonomi juga bisa menjadi masalah utama dan titik awal dari konflik ini. Ini dikarenakan pada kenyataannya perekomian Mesir memang anjlok pasca upaya penurunan rezim Hosni Mubarak hingga kini.

Hal ini bisa disebabkan oleh nature dari Ikhwanul Muslimin itu sendiri yang cenderung eksklusif dan  tidak kooperatif dengan pihak luar IM dalam menjalankan pemerintahannya, sehingga pembagian kekuasaan berjalan tidak sebagaimana mestinya. Dalam proses demokrasi yang berada di Mesir, IM menjalankan pemerintahannya dengan hasil pemilu yang sudah didapat, namun seakan porsi yang diberikan pada oposan dan bagaimana suara oposan mampu mengubah kebijakan pemerintah itu “tidak diberikan”. Oposan meminta apa yang seharusnya mereka miliki dan Mesir miliki. Pemerintahan yang inklusif, sehingga proses demokrasi dapat dikontrol dengan lebih baik.

Berlanjut dari ekslusivitas tadi, konflik ini bisa juga merupakan buah dari ketakutan kaum Kristen Koptik. Bagaimana bisa? Pemerintahan IM yang cenderung ekslusif ini sempat memberikan kesan bahwa akan ada pendirian negara Islam di Mesir. Tentunya, hal seperti ini membuat kaum Kristen Koptik merasa terancam dengan wacana pendirian negara yang berbasis hukum Islam di Mesir pasca revolusi. Ketidakjelasan masa depan mengganggu shadow of the future dari hubungan oposisi dan pemerintahan. Dan kecenderungan untuk mendapatkan masa depan seperti ini dirasakan perlu dicegah. Dengan cara? Memberikan protes dan menghalangi proses-proses yang mengarah pada kebijakan Islamisasi Mesir.

Hal-hal di atas merupakan poin-poin diskusi yang merupakan jawaban dari pertanyaan pertama, yaitu mengapa konflik ini bisa terjadi.

Sedangkan untuk pertanyaan kedua, jawaban yang diperoleh dari hasil diskusi adalah bahwa tidak ada korelasi maupun kaitan antara konflik sektarian di Mesir dengan konflik sektarian yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah yang lain, terutama dengan konflim Sunni-Syiah yang telah terjadi selama ratusan tahun di tanah Timur Tengah. Konflik ini bisa dikategorikan sebagai respon dari masing-masing kelompok dalam menghadapi situasi baru pasca revolusi di Mesir. Dimana ini adalah memang konflik untuk membentuk Mesir menjadi bentuk demokrasi yang lebih matang jika mampu menyelesaikannya, dan jika gagal, maka konflik yang lebih berdarah akan mungkin terjadi. Jawaban di atas membuat pertanyaan kedua secara otomatis terjawab dengan ketiadaan kaitan antara konflik ini dengan konflik sectarian di luar Mesir.

Leave a comment