MESIKlopedia

Invasi Timur Tengah ke Dunia Sepak Bola

INVASI TIMUR TENGAH KE DUNIA SEPAK BOLA

Oleh: Luthfi Purnahasna

Terpilihnya Qatar sebagai negara penyelenggara Piala Dunia 2022 menimbulkan decak kagum dan keraguan dalam waktu yang bersamaan. Kekaguman karena Qatar akan menjadi negara Asia kedua (Jepang-Korea Selatan dihitung menjadi satu karena penyelenggara bersama) yang akan menyelenggarakan Piala Dunia. Keraguan karena Qatar masih belum menunjukkan kapasitasnya di dunia persepakbolaan dunia. Apalagi Qatar juga belum pernah menyelenggarakan perhelatan sepak bola besar.

Tetapi terlepas dari hal di atas, Timur Tengah sekarang ini, terutama para pengusaha milyunernya, sedang menjadi primadona bagi dunia sepak bola khususnya Eropa yang menjadi kiblat persepak-bolaan dunia. Kita bisa melihat di Inggris bagaimana geliat klub Manchester City berhasil mendatangkan para bintang sehingga berhasil menjuarai level teratas Liga Inggris setelah menanti selama 44 tahun. Hasil tersebut tidak bisa dilepaskan dari investasi besar-besaran sang pemilik yaitu Syeikh Mansour bin Zayed Al Nahyan yang membeli klub tersebut pada 2008. Syeikh Mansour sendiri adalah orang penting di Uni Emirat Arab. Selain menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri, dia juga adalah Menteri Hubungan Kepresidenan. Sebagai seorang pengusaha, dia merupakan pemilik dari Abu Dhabi United Group yang merupakan perusahaan investasi yang menjadi perpanjangan tangannya dalam membeli Manchester City.

Bergeser ke wilayah Eropa daratan, kita bisa melihat sepak terjang klub Paris Saint-Germain (PSG) di Perancis. Meski belum menghasilkan gelar seperti Manchester City, sepak terjang PSG dalam hal transfer pemain sudah cukup memukau dunia sepak bola Eropa bahkan dunia. Salah satunya adalah berhasil mendatangkan duo AC Milan, Thiago Silva dan Zlatan Ibrahimovic. Belakangan, mega bintang sepak bola, David Beckham juga berhasil di datangkan meski dengan status bebas transfer. Sang pemilik Nasser Al-Khelaifi melalui Qatar Investment Authority berhasil mengakusisi PSG melalui dua tahap hingga akhirnya menguasai 100% saham kepemilikan PSG. Di Qatar sendiri, Nasser Al-Khelaifi merupakan Direktur dari Al Jazeera Sports dan Presiden dari Federasi Tenis Qatar. Bahkan dia adalah wakil presiden Federasi Tenis Asia.

Selain itu, masih ada pula klub kaya baru lainnya yaitu Malaga CF di Spanyol. Seperti mengikuti tren memiliki klub sepak bola, Syeikh Abdullah bin Nasser Al-Thani membeli klub Malaga. Meski tidak semewah PSG maupun Manchester City, Syeikh Abdullah berhasil menjadi sumber pemasukan baru bagi klub Malaga dan mendatangkan beberapa pemain berkualitas. Tetapi sayangnya gelontoran dana dari pemilik baru ini tidak bertahan lama bagi Malaga. Gelontoran dana dari Syeih Al-Thani terhenti mulai pertengahan 2012. Ternyata ada udang di balik batu. Investasi besar-besaran yang dia lakukan ternyata supaya dia bisa mengambil hati penduduk lokal dan pemerintah daerah setempat. Dia sebenarnya memiliki proyek untuk membangun kawasan “Sport City” dengan daerah marina yang mewah dan perhotelan mewah. Tetapi setelah rencana itu terendus oleh para penduduk lokal justru dirinya tidak mendapatkan simpati. Syeikh Al-Thani dengan dalih kehilangan ketertarikannya terhadap sepak bola meninggalkan Malaga yang lalu mengalami kesulitan membayar gaji para pemain bintangnya.[1] Tetapi hebatnya, dengan sisa para pemain bintangnya, Malaga berhasil melaju ke perempat final Liga Champions Eropa musim ini.

Jika menilik sebelum era milenium ini, sebenarnya pengusaha asal Timur Tengah sudah ada yang memiliki klub di Eropa. Salah satunya adalah Mohamed Al-Fayed yang membeli Fulham pada 1997. Sedikit berbeda dengan para milyuner Timur Tengah lain jor-joran dalam berinvestasi dan membeli pemain. Bahkan Fulham dibelinya saat masih berkutat di level kedua liga Inggris. Al-Fayed sendiri juga cukup ketat dalam pengeluaran dana serta gaji. Tetapi Fulham jelas terselamatkan berkat dibelinya klub tersebut oleh Al-Fayed. Semenjak 2001, Fulham belum pernah terdegradasi dari level teratas liga Inggris meskipun tidak punya skuad yang mewah. Fulham sendiri sebenarnya memiliki hutang berjumlah 187 juta Poundsterling kepada Al-Fayed. Hanya saja dia menerapkan sistem hutang lunak tanpa bunga.[2]

Selain tren kepemilikan tersebut, invasi perusahaan Timur Tengah sebagai sponsor juga makin intens belakangan ini. Jika kita jeli melihat, tulisan “Fly Emirates” semakin sering kita lihat, entah itu di sponsor dada pemain ataupun di papan sponsor stadion. Itu adalah tagline dari maskapai penerbangan dari Uni Emirat Arab, Emirates Airlines. Selain itu, Emirates Airlines juga berhasil menjadikan nama stadion baru Arsenal menjadi Emirates Stadium karena menyetor tidak kurang dari 100 juta Poundsterling. Selain itu, ada juga Etihad Airways juga berhasil menjadi sponsor utama Manchester City dan mengubah nama stadion mereka dari City of Manchester menjadi Etihad Stadium. Tetapi ini juga tidak lepas dari peran Syeikh Mansour sebagai pemilik.

Menurut penulis, yang paling fenomenal dalam hal sponsorsip adalah ikatan kontrak antara Qatar Foundation dengan klub asal Spanyol lain, Barcelona. Gelontoran dana dari perusahaan nirlaba tersebut berhasil mengubah tradisi klub Barcelona yang selama ini menjaga “kesucian” kostum mereka untuk bersih dari sponsor dada kostum semenjak pertama berdiri. Bahkan berhasil memindahkan tulisan “UNICEF” ke bagian belakang kostum. Mulai musim 2013-2014 memang tidak akan kita lihat lagi Qatar Foundation menghiasi kostum Barcelona. Tetapi hubungan dengan Qatar masih akan berlanjut karena mulai musim depan tersebut, bagian dada kostum Barcelona akan terpampang tulisan Qatar Airways yang menjadi sponsor utama mereka.

Invasi Timur-Tengah ke persepak bolaan Eropa merupakan perwujudan kekayaan finansial dari beberapa negara di kawasan ini. Negara seperti Qatar dan Uni Emirat Arab memiliki milyuner-milyuner dengan dana yang sepertinya tidak terbatas. Negara “petro-dollar” dengan kekayaan yang nyaris tak terbatas telah berhasil menginvasi dunia sepak bola. Mereka berhasil memukau pelaku lapangan hijau meski tidak secara langsung bermain di atas rumput.

Qatar sendiri yang akan menyelenggarakan Piala Dunia 2022 nantinya juga memiliki kepentingan tersendiri. Keraguan yang muncul mencoba dijawab Qatar melalui para “agen-agennya” yang menginvasi Eropa. Setidaknya secara finansial mereka berhasil membuktikan bahwa mereka sangat mampu. Lebih dari itu, dikutip dari The Times, untuk bisa membuktikan pada dunia bahwa Qatar mampu menyelenggarakan perhelatan sebesar Piala Dunia 2022, pemerintah Qatar berencana menyelenggarakan Dream Football League (DFL). Kompetisi ini direncanakan akan dihelat pada saat libur kompetisi yaitu pada musim panas (waktu yang sama saat penyelenggaraan Piala Dunia nanti) dan akan melibatkan 24 klub papan atas dengan komposisi 16 klub besar (peserta tetap) dan 8 tim undangan. Perhelatan tidak akan hanya di Qatar tetapi juga direncanakan di Bahrain, Unni Emirat Arab dan Arab Saudi. Dana yang akan digelontorkan juga tidak main-main untuk bisa menarik para klub besar untuk bergabung dalam DFL ini. Setiap klub akan mendapatkan subsidi partisipasi sebesar 175 juta Poundsterling. Jika 24 klub bergabung akan menghabiskan 4,2 miliar Poundsterling yang mana itu senilai tujuh kali lipat prize money tahunan Liga Champions Eropa yang dianggarkan UEFA.[3] Tetapi melihat kemampuan finansial Qatar sepertinya jumlah tersebut bukan menjadi masalah. Apalagi demi membuktikan bahwa mereka mampu menyelenggarakan Piala Dunia 2022 bahkan saat musim panas sekalipun.

Pada akhirnya, invasi Timur Tengah ini membuktikan bahwa Negara dari kawasan ini mampu untuk menunjukkan taringnya di dunia sepak bola. Meski belum dari segi teknis tetapi non teknis. Tapi siapa yang bisa menduga melalui invasi tersebut bisa ada pemain dari TImur Tengah yang menyusul Ali Daei ataupun Ali Al Habsi.

Maret 2013


[1]T. Mcgowan, ‘Malaga’s Malady: When Foreign Ownership goes Wrong’, CNN (daring), 23 Agustus 2012, < http://edition.cnn.com/2012/08/22/sport/football/malaga-cazorla-al-thani-football>, diakses pada 9 April 2013.

[2]D. Conn, ‘Record Income but Record Losses for Premier League’, The Guardian (daring), 19 Mei 2011, < http://www.guardian.co.uk/football/2011/may/19/premier-league-finances-black-hole?INTCMP=SRCH>, diakses pada 9 April 2013.

[3]Tabloid Soccer, 23 Maret 2013, p. 19.

Leave a comment